Custom Search
Rabu, 28 September 2011

Perubahan Budaya Organisasi


I.          Pendahuluan
            Budaya yang kuat merupakan kunci kesuksesan sebuah organisasi. Budaya organisasi mengandung nilai-nilai yang harus dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan bersama oleh semua individu/kelompok yang terlibat didalamnya. Budaya organisasi yang berfungsi secara baik mampu untuk mengatasi  permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internal. (Dharma, 2004).
            Perubahan di lingkungan eksternal organisasi, antara lain perubahan situasi politik, ekonomi, sosial serta lingkungan dalam persaingan yang sangat ketat. Perubahan situasi internal organisasi meliputi visi, misi, strategi, struktur organisasi, dan  teknologi. Organisasi harus mengetahui bagian-bagian organisasi yang harus diubah agar tetap dapat bertahan dalam lingkungan yang terus berubah, seperti Weick yang menerapkan teori survival of the fittest Darwin’s ke organisasi.
            Pettigrew dalam Dharma, 2004 menyarankan agar mempertimbangkan beberapa masalah sebelum menetapkan rencana perubahan, antara lain budaya organisasi perlu diubah. Apakah perlu perubahan sampai tingkat asumsi dasar atau kepercayaan anggota mengenai cara organisasi menghadapi lingkungan eksternalnya ? Organisasi harus mempertimbangkan pandangan anggota terhadap situasi internal organisasi. Para stakeholder perlu dilibatkan dalam penyelesaian permasalahan.
            Dalam kenyataannya seringkali visi dan misi dalam organisasi hanya sebagai slogan saja. Orang yang terlibat didalamnya belum memberikan makna yang sebenarnya dari visi, misi tersebut sehingga tidak terbentuk nilai-nilai, prinsip dasar dan aturan yang dapat mengarahkan perilaku kearah tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi. Terjadi kelambanan dalam perubahan perilaku yang mendukung keberadaan, pertumbuhan, dan perkembangan organisasi.
II.       Arti Penting dan Peranan Budaya Organisasi
            Pemahaman budaya organisasi sebagai kesepakatan bersama mengenai nilai-nilai yang mengikat semua individu dalam sebuah organisasi seharusnya nementukan batas-batas normatif perilaku angoota organisasi.
            Secara spesifik, peranan budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan jatidiri anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan karyawan yang terlibat di dalamnya, membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian. Dengan demikian budaya organisasi berpengaruh kuat terhadap perilaku para anggotanya.
Sepuluh karakteristik yang menggambarkan esensi budaya organisasi, menurut Dharma, 2004: 1) Identitas anggota, dimana karyawan lebihmengidentifikasi organisasi secara menyeluruh; 2) penekanaan kelompok, dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh kelompok dari pada individu; 3) Fokus orang, dimana keputusan manajemen memperhatikan dampak luaran yang dihasilkan oleh karyawan dalam organisasi; 4) penyatuan unit, dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang terkoordinasi atau bebas; 5) pengendalian, dimana peraturan, regulasi dan pengendalian langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan karyawan; 6) toleransi resiko, dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif, inovatif dan mau mengambil resiko; 7) kriteria ganjaran, dimana ganjaran seperti peringatan, pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja karyawan dari pada senioritas, favoritisme atau faktor non-kinerja lainnya; 8)toleransi konflik, dimana karyawan didorong dan diarahkan untuk menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka; 9) orientasi sarana tujuan, dimana manajemen lebih terfokus pada hasil atau luaran dari pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai luaran tersebut; 10) fokus pada sistem terbuka, dimana organisasi memonitor dan merespons perubahan dalam lingkungan eksternal.
            Gambaran karateristik tersebut akan memberikan gambaran mengenai budaya yang dianut. Gambaran ini menjadi landasan untuk menyamakan pemahaman bahwa anggota organisasi merasa memiliki organisasinya dan mendorong anggota organisasi agar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut organisasi.
III.    Tingkatan budaya organisasi
            Pada tingkatan teratas, budaya organisasi akan terwujud sebagai fenomena yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan ketika seseorang/individu berinteraksi dengan suatu organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi relatof lebih mudah diidentifikasi dan didefinisikan. Lewis (1992) seperti dikutip Jalal, 2000 mengelompokkan budaya organisasi pada empat tingkatan:
1)      Simbol-simbol, terdiri dari logo, slogan, upacara-upacara, cerita-cerita yang sering disampaikan orang-orang dalam organisasi tersebut, cara kerja sehari-hari, pemegang kekuasaan dan kriteria yang dipakai untuk menyingkirkan, mengangkat, dan menghargai anggotanya.
2)      Proses, merupakan metode organisasi untuk melaksanakan tugasnya, seperti, jalur pertanggungjawaban, desain pekerjaan, strategi manajemen dalam mengambil keputusan, jalur komunikasi resmi, dan peraturan-peraturan tentang pertemuan.
3)      Format, merupakan benda-benda yang bisa langsung diobservasi, seperti desain bangunan, tata letak ruang, furnitur, dokumen-dokumen resmi,  dan pidato-pidato.
4)      Perilaku, merupakan manifes simbol-simbol, proses dan format yang ada di organisasi. Dengan demikian ada kemungkinan perilaku yang tidak ada kaitannya dengan budaya organisasi.
Sedangkan nilai-nilai utama dari budaya organisasi terdiri dari kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai (values). Kepercayaan merupakan asumsi yang dipercayai sebagai anggota organisasi, tentang peran organisasi itu sendiri dalam lingkungannya, dan peran anggota organisasi dalam organisasi. Sementara Rokeach dalam Lewis (1968) menyatakan nilai-nilai (values) merupakan kepercayaan anggota organisasi tentang hal-hal yang sangat bernilai untuk dimiliki atau dilakukan, atau perilaku yang harus dilakukan, atau tidak dilakukan, atau hal-hal yang perlu dicapai atau tidak dicapai. Bagan: Budaya Organisasi (Lewis, 1992 dalam Jalal, 2000), sebagai berikut:
IV.     Budaya sebagai alat kontrol
            Bisa dikatakan bahwa organisasi tidak akan bias berjalan denganbaik jika organisasi tersebut tidak mempunyai sistem pengendalian yang memadai. Tanpa system pengendalian yang memadai, aktivitas-aktivitas organisasi berjalan sendiri-sendiri tanpa ada yang mengarahkan dan mengkoordinasikannya. Dengan demikian juga efisiensi dan efektivitas organisasi sangat bergantung pada berfungsi tidaknya sistempengendalian tersebut. Pengertian sistem pengendalian Legare, 1998 dalam Sobirin, 2007 adalah pengetahuan yang menyatakan bahwa seseorang yang mengetahui dan peduli, mau memberi perhatian terhadap apa yang kita kerjakan dan mau memberitahukannya manakala terjadi penyimpangan.
            Model pengendalian seperti ini menggunakan asumsi bahwa sistem pengendalian bisa berjalan dengan baik jika orang yang dimonitor menyadari bahwa pimpinannya atau siapa saja yang berwenang memberi perhatian terhadap apa yang dikerjakan bawahannya dan atasan akan melakukan teguran manakala terjadi penyimpangan terhadap yang dilakukan bawahannya. Dala praktik, sistempengendalian formal biasanya didesain untuk mengukur kinerja berupa outcome atau perilaku orang-orang yang terlibat dalam proses aktivitas.  


Didalam budaya organisasi yang baik hendaknya diterapkan sistem pengendalian yang biasa disebut social control system. Sistem pengendalian ini tidak  terlalu banyak melibatkan orang lain untuk memonitor apa saja yang dilakukan oleh seseorang tetapi yang terlibat langsung dalam pengendalian adalah orang yang bersangkutan melalui komitmen dan kesepakatan dengan orang-orang sekitar berkaitan dengan sikap danperilaku yang dianggap memadai. Disinilah budaya organisasi memainkan perannya dalam menciptakan social control system.
V.        Peran pemimpin dalam budaya organisasi
            Ada kelompok yang beranggapan bahwa budaya organisasi merupakan variabel yang perlu di-manage. Dalam hal ini budaya organisasi dapat dapat diubah, walaupun harus disadari bahwa perubahan budaya bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. (Dharma, 2004).  Peran pimpinan dalam organisasi memantau sejauh mana budaya organisasi masih dapat berfungsi atau perlu dilakukan perubahan. Upaya ini penting untuk dilakukan karena tujuan membangun budaya organisasi bukan sekedar membedakan budayanya dengan budaya organisasi lain, juga bukan sekedar budaya yang dimiliki lemah atau kuat, tetapi lebih bertujuan agar dengan budaya yang dimiliki mampu membawa organisasi pada kinerja yang lebih baik. Oleh sebab itu manakala budaya organisasi tidak berfungsi dengan baik maka pihak manajemen harus segera turun tangan untuk mengatasi persoalan tersebut.
            Pimpinan dituntut kemampuannya untuk menerjemahkan perubahan dalam lingkungan eksternal maupun lingkungan internal organisasi, menjadi nilai-nilai utama bagi anggotanya. Upaya ini dapat dilakukan melalui artefak organisasi seperti sistem-sistem SDM dan oprasional, struktur organisasi, bahkan desain bangunan dan tata ruang kantor (Jalal, 2000). Proses perubahan ini akan sukses apabila pimpinan mampu melakukan perubahan secara terencana, sehingga semua anggota mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk beradaptasi dengan perubahan.
Sementara itu Thusman dan O’Reilly dalam Dharma, 2004 mengajukan enam langkah dalam menelaah secara terus menerus budaya sebuah organisasi:
1)      Lakukan identifikasi terhadap tantangan strategi untuk masa yang akan datang. Langkah ini dimaksudkan untuk memproyeksikan di masa depan yang seharusnya diterapkan oleh sebuah organisasi. Strategi di masa depan boleh jadi berbeda dengan strategi yang diterapkan sekarang karena lingkungan eksternal yang selalu berubah.

2)      Kaitkan strategi untuk menghadapi tantangan masa datang tersebut dengan tugas-tugas pokok yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan strategi. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasikan tugas-tugas penting yang harus dijalankan demi suksesnya strategi tersebut.
3)      Lakukan identifikasi terhadap norma dan tata nilai yang diyakini dapat membantu menyelesaikan tugas-tugas pokok diatas. Tugas-tugas penting pada point 2 boleh jadi menuntut perubahan norma perilaku dan tata nilai baru. Oleh karena itu pada tahap ini perlu ditegaskan norma perilaku dan tat nilai baru seperti apa yang diperlukan di masa datang.
4)      Lakukan diagnosis terhadap norma-norma organisasi yang mencerminkan budaya berjalan. Diagnosis terhadap norma perilaku dan tata nilai berjalan dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti apakah norma perilaku dan tata nilai masih cocok untuk kondisi masa datang.
5)      Lakukan identifikasi apakah terjadi kesenjangan antara norma yang dibutuhkan dengan norma  berjalan. Boleh jadi norma perilaku dan tata nilai berjalan tidak lagi cocok untuk masa datang. Oleh karena itu tahapan ini dimaksudkan untuk meminimalisasi sejauh mungkin kesenjangan antara budaya berjalan dengan budaya yang diperlukan untuk masa datang.
6)      Putuskan untuk melakukan tindakan untuk menutup kesenjangan tersebut. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya kesenjangan antara budaya berjalan dan budaya di masa datang sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan antisipatif dan korektif.
            Penelaahan budaya suatu organisasi ini perlu dilakukan oleh pimpinan secara periodikal karena lingkungan selalu berubah, yang diartikan pula bahwa budaya organisasi dalam batas-batas tertentu harus bisa menyesuaikan diri. Penelaahan ini tentu saja melibatkan semua yang terlibat dalam  organisasi (stakeholder).
            Proses kreasi dan manajemen budaya secara dinamis merupakan esensi kepemimpinan dan pada gilirannya merupakan bukti nyata bahwa kepemimpinan dan budaya merupakan dua sisi dari satu mata uang. Budaya bermula dari pemimpin yang nenanamkan nilai-nilai dan asumsi yang dianut ke dalam kelompoknya. Jika suatu organisasi sukses dan asumsi-asumsi yang dibuat dapat diterima oleh anggotanya, maka organisasi  tersebut memiliki budaya yang dapat diperkenalkan kepada anggota baru mengenai bentuk kepemimpinan yang dapat diterima.
           

VI.     Penutup
Perubahan budaya organisasi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ada hal-hal penting  yang harus dipertimbangkan, agar proses perubahan tersebut berjalan sesuai rencana. Pimpinan dituntut kemampuannya untuk menerjemahkan perubahan dalam lingkungan eksternal maupun lingkungan internal organisasi, menjadi nilai-nilai utama bagi anggotanya.
            Penelaahan budaya suatu organisasi ini perlu dilakukan oleh pimpinan secara periodikal karena lingkungan selalu berubah, yang diartikan pula bahwa budaya organisasi dalam batas-batas tertentu harus bisa menyesuaikan diri. Penelaahan ini tentu saja melibatkan semua yang terlibat dalam  organisasi (stakeholder).
            Keterlibatan dalam membangun dan mengembangan organisasi, merumuskan nilai-nilai dan sistem sebagai basis budaya yang kuat, serta merumuskan arah jangka panjang organisasi.
VII.  Daftar Pustaka
Dharma, Surya dan Haedar Akib. (2004). Budaya organisasi kreatif: mencermati budaya
organisasi sebagai faktor determinan kreativitas. Usahawan, Vol. 33 (03) Maret:
22-28.
Griffin. Communication theory.
Jalal, Octa Melia. (2000). Budaya organisasi sebagai konsep strategi perubahan.
Manajemen, Juli: 26-28.
Munandar, A.S. (2002). Antara budaya organisasi, budaya ligkungan, dan
produktivitas. Manajemen, Februari: 48-50.
Sobirin, Achmad. (2007). Budaya organisasi: pengertian, makna dan aplikasinya dalam
kehidupan organisasi. Yogyakarta: STI YKPN.

Pendidikan Kewarganegaraan


1.    Sebagai bangsa Indonesia, kita patut mengerti dan memahami apa Pancasila itu. Pancasila berasal dari dua kata yakni [1]Panca dan [2]Sila menurut bahasa Sanskerta. Sehingga pancasila mengandung arti lima buah prinsip atau asas. Asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam setiap Sila yang terkandung di dalam Pancasila memiliki butir-butir penting di mana setiap butir menekankan atau mengharuskan rakyat Indonesia untuk melakukan pengamalan[3] Pancasila di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

1. BUTIR-BUTIR SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
1.    Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang  Maha Esa.
2.    Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.    Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4.    Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5.    Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6.    Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7.    Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2.  BUTIR-BUTIR SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
1.    Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2.    Mengakui persamaan derajad[5], persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3.    Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4.    Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5.    Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6.    Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7.    Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8.    Berani membela kebenaran dan keadilan.
9.    Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.    Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. BUTIR-BUTIR SILA PERSATUAN INDONESIA

(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[6]
(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.[7]
(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. BUTIR-BUTIR SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN

(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
(6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
(10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

5. BUTIR-BUTIR SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.[8]
(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
(9) Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
3. Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes menulis sebagai berikut:
“So that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.

4. Unsur Negara Sebagai Syarat Berdirinya Suatu Negara - Rakyat, Wilayah, Pemerintahan & Pengakuan

Suatu negara apabila ingin diakui sebagai negara yang berdaulat secara internasional minimal harus memenuhi empat persyaratan faktor / unsur negara berikut di bawah ini :

1. Memiliki Wilayah
Untuk mendirikan suatu negara dengan kedaulatan penuh diperlukan wilayah yang terdiri atas darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan. Untuk wilayah yang jauh dari laut tidak memerlukan wilayah lautan. Di wilayah negara itulah rakyat akan menjalani kehidupannya sebagai warga negara dan pemerintah akan melaksanakan fungsinya.
2. Memiliki Rakyat
Diperlukan adanya kumpulan orang-orang yang tinggal di negara tersebut dan dipersatukan oleh suatu perasaan. Tanpa adanya orang sebagai rakyat pada suatu ngara maka pemerintahan tidak akan berjalan. Rakyat juga berfungsi sebagai sumber daya manusia untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pemerintahan Yang Berdaulat
Pemerintahan yang baik terdiri atas susunan penyelengara negara seperti lembaga yudikatif, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lain sebagainya untuk menyelengarakan kegiatan pemerintahan yang berkedaulatan.
4. Pengakuan Dari Negara Lain
Untuk dapat disebut sebagai negara yang sah membutuhkan pengakuan negara lain baik secara de facto (nyata) maupun secara de yure. Sekelompok orang bisa saja mengakui suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang dengan sistem pemerintahan, namun tidak akan disetujui dunia internasional jika didirikan di atas negara yang sudah ada.